Archive Pages Design$type=blogging

Cerpen: Ziarah

ZIARAH Kartika Nurul Nugrahini (Juara I Lomba Cerpen dalam rangka Open House Al Huda 2011) Bismillah. Pukul 06.42, kami berang...

ZIARAH

Kartika Nurul Nugrahini

(Juara I Lomba Cerpen dalam rangka Open House Al Huda 2011)


Bismillah. Pukul 06.42, kami berangkat. Inilah perjalanan pertamaku sebagai seorang guide menuju ke tempat yang bernuansa Islam. Perjalanan panjang ke Kudus harus kami lalui dengan arus yang semakin panjang karena dampak erupsi Merapi. Melewati Kartosura dan Surakarta. Karena merasa berat mata, aku sandarkan punggung di kursi. Entah berapa lama aku tertidur, ketika membuka mata, aku sudah sampai Kauman.

Sepanjang mata melayang, tidak pernah hilang dari rel kereta. Suatu pemandangan yang menyuguhkan keunikan tersendiri. Semakin jauh perjalanan yang kami tempuh, potret kehidupan semakin membuatku ternganga. Rumah didirikan di mulut sungai yang airnya berwarna hijau dibangun dengan gaya Kalimantan, mungkin sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu volum air itu naik. Tidak dapat kita sangkal, di sungai itulah mereka mengambil air untuk mandi, wudhu, mencuci ataupun memandikan binatang ternak.

Astaga. Dari dalam bis aku seperti mencium bau amis dan bau tidak sedap lain yang berasal dari tempat itu. Rumahnya tidak permanen, hanya terbuat dari kayu-kayu dan papan. Hal yang membuat keadaan itu tidak semakin buruk adalah atapnya menggunakan genting pada umumnya. Ukuran pun dominan sama, tidak lebih besar dari ruang tamuku. Dapatkah aku hidup secara sehat jika aku bermukim di sini? Mungkin tidak akan bertahan lama.


Lebar sungai itu sekitar enam meter. Di samping-samping sungai ditumbuhi enceng gondok dan tumbuhan air lain. Betapa miris hatiku karena melihat pemandangan yang tidak sedap sepanjang perjalanan yang harus ditempuh lebih dari satu jam. Berapa panjangkah kemiskinan itu menjerat bangsa yang katanya sudah merdeka? Pada kenyataannya ketidakadilan masih menjadi suatu budaya.

Aku ingin perjalanan segera berakhir, tetapi keindahan belum juga menjemput pandang mataku. Hari ini merupakan holiday, tetapi jalanan terlihat lengang.

Setelah beberapa lama hanya meletakkan badah di kursi, akhirnya aku sampai juga di tempat pertama. Langkah kakiku cukup sampai di gerbang ini. Sedih, karena aku sedang datang bulan. Bangunan ini sudah cukup tua dan usang. Sebuah peninggalan masa lalu yang membuktikan bahwa Islam sudah ada waktu itu. Ya, dari awal niatku bukan untuk berziarah, tetapi berwisata. Jika aku renungkan lebih dalam, aku menangis. Harusnya aku berdoa bersama-sama dan menengok makam pahlawan penyebar agamaku. Hati semakin terasa remuk melihat orang keluar dari area pemakaman yang berdinding tinggi itu. Jika aku mati, mungkinkah makamku juga akan diziarahi banyak orang? Aku terlalu berkhayal. Aku harus menengok siapa diriku ini. Taubat, taubat. Beribadah saja terkadang terserang malas. Ah, kenapa aku mengkambinghitamkan “malas”? Di tempat ini, aku menjadi tersadar. Betapa jauhnya aku dengan Allah-ku. Aku berjanji, sepulang dari perjalanan ini, akan aku pasang Jilbab dikepalaku yang rambutnya selalu berganti warna ini.

Masjid yang didirikan pada masa itu tidak dapat langsung lepas dari kultur sebelumnya. Bentuk menara di masjid ini menyerupai candi. Pagar-pagar makamnya juga seperti pagar candi. Peradaban memang berjalan lambat. Semua bangunan berdiri dengan kekokohan bata merah. Siswa-siswa sepulang sekolah langsung menuju makam ini. Mungkin di dalamnya juga terkubur jasad sanak saudaranya. Santri-santri yang rajin. Mendatangi tempat ini seperti kewajiban bagi umat Islam, menurutku. Jangan sampai makam ini menjadi seperti tempat sesembahan, kita harus mengingat bahwa niat kita adalah mengunjungi makam untuk mendoakan orang yang sudah meninggal agar kita mengingat jasa beliau yang dengan penuh perjuangan menyebarkan syariat Rasulullah sehingga akan menambah keyakinan kita bahwa agama Islam memang agama terakhir yang dibawa oleh Nabiullah sebagai penutup. Juga agar kita mengingat liang kubur yang akan digalikan untuk kita.

Sekitar dua ratus pasang alas kali selalu memenuhi pintu masuk areal pemakaman. Peziarah datang dan pergi  dari berbagai usia, jenis kelamin dan kedudukan sosial. Dan aku hanya duduk di sebuap pendapa di depan pintu untuk menanti rombonganku selesai berziarah.

Aku mencoba mengingat sesuatu yang mungkin akan menghilangkan kekecewaanku. Ya, sebuah keluarga besar. Ketika itu, aku ke rumah kakek karena ada acara nyewu-nya nenek. Aku, Ibu dan Kakek bercakap-cakap untuk mengisi waktu. Ibu berkata “Betapa dahsyatnya letusan Merapi ya, Mbah. Lahar dan awan panas mampu meratakan daerah Mbah Maridjan dan pemukimn warga yang terletak di samping Kali Gendol bagian utara. Bagaimana tidak, kata orang, Merapi adalah pusarnya dunia,”. Tapi kakek mengoreksi pemaparan anaknya.

Kakek bercerita bahwa pada sekitar tahun 1006 lahar panas pernah mencapai sungai dekat pemukiman di mana kakek tinggal. Dan itulah letusan Merapi yang paling dahsyat. Katanya pula, pusar dunia bukanlah Gunung Merapi, tetapi Mekkah. Merapi hanyalah pusar Pulau Jawa! Kelak jika kiamat tiba, Allah akan mencabut Mekkah dan dengan serta merta air akan muncul dari lubang tersebut sehingga air menyelimuti dunia yang sekarang kita pijak. Betapa dahsyatnya kekuasaan itu! Ya, masih digelegar-gelegar suara langit, aliran air hujan berkejaran di depan rumah. Oh tidak!! Atap kamarnya bocor! Basahlah kasur kakek. Ahh…di mana kami akan tidur. Paklik memindah kasur itu agar basahnya tidak menjadi semakin parah.

Tamu-tamu masih berdatangan. Lembah manah, bulik menyalami dan mempersilakan masuk. Tapi Mbah Kakung tidak beranjak dari tempat duduknya di emperan. Maklum, sudah sepuh. Satu lagi, datang suami-istri turun dari motor. Kasihan, mereka kehujanan. Kali ini kakek ikut berdiri dan menyalami kemudian ikut masuk ke ruang tamu. Tinggallah aku sendiri. Mendengar bisikan hujan, berharap mendapatkan inspirasi darinya. Kenikmatan semua itu layaknya melahap pisang goreng yang masih panas.

Masih ditempatku berdiam, terdengar percakapan-percakapan tamu dan tuan rumah. Apa saja mereka bicarakan, tapi suara hujan tetap menjadi sang raja. Kenapa hujan tidak segera reda? Aku membuat kapal-kapalan dari lipatan kertas. Dulu, bapaklah yang mengajariku  membuatnya. Jika hujan sudah reda, aku akan bermain-main digenangan depan rumah, pikirku. Jam 15.19. terdengar nyanyian azan. Biasanya kakek akan segera beranjak mengambil peci kemudian ke masjid. Tetapi karena ada tamu, kakek menangguhkan kebiasaannya.

Anak kecil memang selalu penuh dengan kejutan. Ketika aku sedang membaca buku ditemani rintik hujan, sepupuku yang sebentar lagi akan  genap berusia tiga tahun bertanya kepadaku “Mbak, pasirnya itu dari apa?” sambil menunjuk ke tumpukan pasir galian sisa Merapi. Aku berpikir jawaban apa yang pantas aku berikan. “Itu dari truk ya, Mbak?” katanya melanjutkan. Bagaimana aku akan menjelaskan? Usianya belum mencukupi jika aku terangkan secara alamiah karena logikanya belum dapat berjalan sejauh itu. Dia mengira jika pasir itu dihasilkan oleh truk, seperti daun yang memunculkan bunga. Akhirnya aku hanya mengiyakan. Jika usianya sudah besar, aku akan memberi tahu dari mana pasir itu berasal.

Lelah menunggu hujan, aku tertidur di lincak. Rintik air hujan aku rasakan seperti dongeng yang setia menimangku. Entah sudah berapa lama aku tertidur, tapi hujan belum juga reda. Bahkan aku terbangun karena gelegar yang diciptakan langit semakin besar. Hatiku terasa tak karuan. Takut kalau lahar dingin memporak-porandakan desa ini, seperti yang terjadi di Desa Bakalan, Cakran dan desa-desa malang lain yang dekat dengan aliran Sungai Gendol ataupun Opak. Dingin terasa semakin menusuk pori-pori, tapi aku enggan untuk masuk ke rumah. Mungkin karena di dalam ramai oleh celotehan dan kegiatan ibu-ibu yang rewang, apalagi aku tidak mengenal sebagian besar dari orang-orang itu karena aku tidak dibesarkan di sini, meskipun mereka mengenalku.

Naluriku sebagai seorang remaja, saat ini sedang ingin merenung. Entah renungan apa yang ada dipikiranku. Rindu rumah dan segala kemewahannya. Aku juga kepikiran Bapak karena beliau hanya sendiri di rumah. Harus pulang lebih awal karena mempunyai hewan ternak yang harus disuplai makanan. Pikiranku semakin kacau karena kakakku menjemput sepupu yang rumahnya harus menyeberangi bantaran  Sungai Gendol. Ya, saat-saat ini warga yang rumahnya tidak jauh dari bantaran sungai harus waspada jika tidak mau celaka. Tamu belum berhenti berdatangan ke rumah kakek untuk sekedar meringankan beban. Tapi suara motor kakakku belum juga menghampiri. Rasanya lama sekali dia pergi, meskipun aku yakin tidak akan terjadi apa-apa kepadanya.

***

Sekarang pukul 16.04 WIB. Aku baru saja melewati sungai besar di Kudus, kemudian keluar melewati jalanan yang penuh dengan pamflet. Selamat jalan kota wali. Mataku diarahkan keluar bis. Debu berterbangan merusak pemandangan, ternyata jalan yang kami lalui sedikit bertanah, sehingga truk yang melintas di depan meninggalkan debu.

Sepertinya jalanan ini sisa diguyur hujan. Lubang-lubang masih diisi oleh air sehingga aspal terlihat hitam. Aku melihat hamparan tanaman padi siap panen. Indah, seperti lautan emas yang disinari matahari. Di barat, aku melihat awan hitam berlari menjauhi sang surya, sedangkan sang surya tetap merambat ke cakrawala. Sesaat kemudian, awan tadi memudar hingga akhirnya menghilang. Subhanallah, betapa agungnya kekuasaan-Mu, Ya Allah. Hamba bersujud kepada-Mu. Ketika aku tengok lagi ke bumi, kembali aku melihat hamparan berhektar-hektar, tetapi kali ini menampakkan bekas dibajak. Di pinggiran jalan, emas-emas milik petani dijemur agar tidak menjadi benih.

Setelah aku memfokuskan kepada suara, aku dengar alunan musik menyebutkan nama-nama wali. Sunan Drajat, Sunak kalijaga, Sunan Bonang dan nama enam wali lainnya. Suaranya merdu, sehingga perempuan manis yang duduk disampingku  tertidur. Aku senang karena sebelum ini, dia terlihat mabuk kendaraan bahkan tadi setelah makan siang ia memuntahkan isi perut. Kini aku dapat duduk dengan aman.

Sekarang aku berjalan ke utara, melewati bawah jembatan layang. Pemandangan yang aku ceritakan semua ini diambil dari sisi kiri. Aku tidak pernah melayangkan pandangan mata ke kenan maupun ke pak sopir. Sorot matahari menyilaukan pandanganku. Tetapi aku enggan menutup gorden. Aku melihat lagi pemandangan menyedihkan, deretan rumah yang ada di pinggiran sungai hijau, tapi segera berakhir karena kami memasuki jalan menuju  makam Sunan Kalijaga. Usai dari sana, kami menuju masjid Agung Demak untuk melaksanakan shalat maghrib setelah kemudian ziarah ke makan Raden Patah yang letaknya di utara areal masjid. Itulah tempat wisata terakhirku di Jawa Tengah.

Perjalanan pulang, pak sopir  lewat kota Semarang. Tubuhku tidak merasa lelah, tetapi suasana bis memaksaku untuk tidak petakilan. Maklum, aku bersama ibu-ibu janda dari perkumpulan As Salam yang mungkin perasaannya agak sensitif. Aku juga harus bertindak profesional sebagai seorang guide. Tidak ada yang dapat aku lihat lagi pada perjalanan pulang. Hanya kegelapan yang terkadang dihiasi cahaya lampu para penduduk. Terkadang memang terlihat indah, tetapi lebih sering sangat membosankan karena hanya ada satu warna. Putih. Aku memilih untuk tidur.

Terakhir kali aku melihat jam di HP, 21.49 WIB. Setelah itu aku tidak bisa mengetahui waktu lagi karena baterainya habis. Ketika sampai di rumah, aku merasakan sesuatu. Aku ingin kembali kekehidupanku yang telah lalu, menjadi seorang ustadzah. Entah angin apa yang membuatku berpikiran seperti itu. Mungkin juga karena Allah membuka kembali pintu hatiku, sehingga aku mengingat surau di kampungku. Suatu percakapan yang tidak pernah aku lupakan adalah…

Di sela kesibukan kuliahku, ada saja bisikan yang mengusik kalbuku agar melangkahkan kaki kerumah Allah. Tapi tidak jika hujan sudah lebih dulu menghampiri. Terkadang aku berpikir dalam hati “pantaskan rumah ini aku sebut sebagai rumah Allah? Temboknya tidak rata. Jika hujan mengguyur, ada saja bagian yang membasahi ruang sempit itu. Jika idul fitri atau idul adha tiba, kami butuh mendirikan tenda untuk para pemudik yang ingin merayakan hari besar islam bersama keluarga. Jika iya itu rumah Allah, betapa sederhana kehidupannya, pernahkan Ia mengeluh akan kenyataan ini?”

Sore itu aku terlanjur berangkat ke masjid. Tetapi ternyata hujan menemani proses belajar kami. Ah, tidak apa. Ternyata kebocoran sana-sini sudah dibenarkan oleh Pak Slamet, salah satu dari beratus warga yang peduli kemakmuran masid. Ketika selesai mendongeng untuk para sahabat kecil, ada santri yang mengusulkan sesuatu kepadaku “Ustadzah, mengapa kita tidak membeli peralatan tulis-menulis untuk menunjang kelengkapan ngaji, kita iuran saja, tidak apa-apa kok,” katanya dengan lugu. Aku sangat terharu dengan kepedulian itu. Kemudian aku menjawab, “Iya, akan saya bicarakan kepada abi dan ummi kalian jika saya sudah ada waktu,” . Kemudian Huda berkata lagi “Mengapa tidak iuran langsung saja kalau begitu. Apa tidak terlalu lama jika harus saling menunggu? Karena abi dan ummi kami juga belum tentu memiliki banyak waktu. Ummi dan abi pasti setuju dengan keputusan Ustadzah Annisa.”

Aku berkata “Tidak bisa begitu, adik-adikku. Rasulullah saja mengajak kita untuk bermusyawarah untuk menyelesaikan segala sesuatu yang menyangkut orang banyak.”

“Iya ustadzah…”

Percakapan itu mengusik pikiran. Betapa semangatnya adik-adikku untuk menuntut ilmu, tetapi aku selalu disibukkan dengan urusan dunia sehingga tidak sempat lagi untuk memikirkan mereka. Benar juga kata Pak Ustadz ketika aku mengkuti diklat Ustadz-Ustadzah bahwa jangan menjadikan guru mengaji sebagai pekerjaan sampingan, tetapi luangkanlah waktu untuk mengajarnya. Insyaallah, Allah akan memudahkan jalan hidup kita untuk mendapatkan rezeki.

Dihari-hari berikutnya, aku selalu meluangkan waktu untuk ke masjid, menemani para aktivis kecil menuntut ilmu. Meskipun aku sering merasa tidak pantas, tetapi aku selalu berusaha menjadi yang terbaik untuk mereka.

___

COMMENTS

BLOGGER: 2
Loading...
Nama

Agenda Buletin Ilmu Info Media Opini Resensi Sastra Video
false
ltr
item
Al-Ukhuwah: Cerpen: Ziarah
Cerpen: Ziarah
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi0f8uBAtYx84zUS_nhGkcsr_XDizaZfuo4vb1GBAvjJFkwLFnPcQik-CAdgnKkdXuVVK28fj5aVeh3bOfBkCuVucLNVG_ePagv-LYH3p7L8V01PA9b5uB5ElP23pX1-QlC2m3uFmNG8OI/s1600/jalanan-jogja-2.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi0f8uBAtYx84zUS_nhGkcsr_XDizaZfuo4vb1GBAvjJFkwLFnPcQik-CAdgnKkdXuVVK28fj5aVeh3bOfBkCuVucLNVG_ePagv-LYH3p7L8V01PA9b5uB5ElP23pX1-QlC2m3uFmNG8OI/s72-c/jalanan-jogja-2.jpg
Al-Ukhuwah
http://kmalhudauny.blogspot.com/2011/06/cerpen-ziarah.html
http://kmalhudauny.blogspot.com/
http://kmalhudauny.blogspot.com/
http://kmalhudauny.blogspot.com/2011/06/cerpen-ziarah.html
true
4807155299787571565
UTF-8
Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago