SARASEHAN BUDAYA Bersama Sam Udjo & Prof Dr Suminto A Sayuti Mengajak para kawula muda FBS UNY dan siapapun y...
SARASEHAN BUDAYA Bersama Sam Udjo & Prof Dr Suminto A Sayuti
Mengajak para kawula muda FBS UNY dan siapapun yang tertarik dengan "nguri-uri" kebudayaan , Falsafah, dan Tradisi Jawa, dipandang dari nilai kearifan lokal (local wisdom). Local Wisdom yang menyediakan berbagai cara dan jalan forum, pendekatan akal, sejarah, dan hati nurani. Meretas spiritualitas sejati...
Begitulah kira-kira gambaran Sarasehan Budaya yang diadakan BEM FBS UNY pada tanggal 24 Februari 2012 di Laboratorium Karawitan FBS UNY. Acara tersebut dimulai pukul 20.00 WIB. Dengan dihadiri oleh beberapa perwakilan dari Mahasiswa se-Indonesia. Dengan pembicara yang tak asing lagi di telinga para praktisi akademis budaya Nasional, yaitu Prof Dr Suminto A Sayuti guru besar UNY sekaligus penulis dan sastrawan Nasional. Dihadiri pula Sam Udjo seorang penggiat angklung di daerah Jawa Barat khususnya Bandung.
Dengan di moderatori Ketua Bem FBS 2011, Ikhwanul Habibi, acara tersebut dimulai dari pemaparan ihwal budaya Nasional dalam konteks kearifan lokal “musik angklung”. Sam Udjo menuturkan bahwa, musik angklung mengalami perjalanan yang begitu panjang. Berawal dari, mind setyang mengatakan angklung sebagai musik rendahan atau kalangan bawah. Namun semenjak berjalannya waktu serta usaha dari penggiat kesenian angklung, predikat angklung sebagai musik “kalangan bawah” terhapus sedikit demi sedikit. Sam Udjo contohnya, ia telah mendedikasikan hidupnya sejak kecil hingga saat ini telah mengantarkan musik angklung sebagai warisan budaya dunia. Disamping itu, musik angklung telah mendapatkan perhatian dari pemerintah Indonesia. Pemerintah akan memberikan SK, perihal pengajaran musik angklung sejak SD. Oleh karena itu, guru musik angklung akan segera dibutuhkan.
Yang patut disesalkan Sam Udjo adalah, persepsi orang-orang ketika mengapresiasi budaya lokal dengan nilai rendah. Berbanding terbalik, ketika mengapresiasi musik “ecek-ecek” dengan kulit industrialisasi, dinilai sangat mahal. Contohnya, para dalang wayang di hargai murah, akan tetapi musik-musik “lipsing” di hargai mahal, hal yang sangat ironi sekali. Hal tersebut di amini Prof Dr Suminto A Sayuti. Beliau mengatakan bahwa budaya lokal harus dijunjung tinggi. Banyak budaya lokal yang ada dalam Indonesia. Kesatuan budaya tersebut terbungkus menjadi satu, laksana pelangi di atas langit. Itulah ke-Indonesian kita.
Prof Dr Suminto A Sayuti juga mengatakan bahwa, “ kampus tanpa budaya adalah kebun binatang”. Statement tersebut mencitrakan bahwa budaya mempunyai peranan penting dalam membentuk pola berpikir dan pola pergaulan dalam kampus, yang berarti juga membentuk kepribadian dan pola pikir mahasiswa tertentu. Budaya mencakup perbuatan atau aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh suatu individu maupun masyarakat, pola berpikir mereka, kepercayaan, dan ideologi yang mereka anut.

Oleh: Rony Kurniawan
Mengajak para kawula muda FBS UNY dan siapapun yang tertarik dengan "nguri-uri" kebudayaan , Falsafah, dan Tradisi Jawa, dipandang dari nilai kearifan lokal (local wisdom). Local Wisdom yang menyediakan berbagai cara dan jalan forum, pendekatan akal, sejarah, dan hati nurani. Meretas spiritualitas sejati...
Begitulah kira-kira gambaran Sarasehan Budaya yang diadakan BEM FBS UNY pada tanggal 24 Februari 2012 di Laboratorium Karawitan FBS UNY. Acara tersebut dimulai pukul 20.00 WIB. Dengan dihadiri oleh beberapa perwakilan dari Mahasiswa se-Indonesia. Dengan pembicara yang tak asing lagi di telinga para praktisi akademis budaya Nasional, yaitu Prof Dr Suminto A Sayuti guru besar UNY sekaligus penulis dan sastrawan Nasional. Dihadiri pula Sam Udjo seorang penggiat angklung di daerah Jawa Barat khususnya Bandung.
Dengan di moderatori Ketua Bem FBS 2011, Ikhwanul Habibi, acara tersebut dimulai dari pemaparan ihwal budaya Nasional dalam konteks kearifan lokal “musik angklung”. Sam Udjo menuturkan bahwa, musik angklung mengalami perjalanan yang begitu panjang. Berawal dari, mind setyang mengatakan angklung sebagai musik rendahan atau kalangan bawah. Namun semenjak berjalannya waktu serta usaha dari penggiat kesenian angklung, predikat angklung sebagai musik “kalangan bawah” terhapus sedikit demi sedikit. Sam Udjo contohnya, ia telah mendedikasikan hidupnya sejak kecil hingga saat ini telah mengantarkan musik angklung sebagai warisan budaya dunia. Disamping itu, musik angklung telah mendapatkan perhatian dari pemerintah Indonesia. Pemerintah akan memberikan SK, perihal pengajaran musik angklung sejak SD. Oleh karena itu, guru musik angklung akan segera dibutuhkan.
Yang patut disesalkan Sam Udjo adalah, persepsi orang-orang ketika mengapresiasi budaya lokal dengan nilai rendah. Berbanding terbalik, ketika mengapresiasi musik “ecek-ecek” dengan kulit industrialisasi, dinilai sangat mahal. Contohnya, para dalang wayang di hargai murah, akan tetapi musik-musik “lipsing” di hargai mahal, hal yang sangat ironi sekali. Hal tersebut di amini Prof Dr Suminto A Sayuti. Beliau mengatakan bahwa budaya lokal harus dijunjung tinggi. Banyak budaya lokal yang ada dalam Indonesia. Kesatuan budaya tersebut terbungkus menjadi satu, laksana pelangi di atas langit. Itulah ke-Indonesian kita.
Prof Dr Suminto A Sayuti juga mengatakan bahwa, “ kampus tanpa budaya adalah kebun binatang”. Statement tersebut mencitrakan bahwa budaya mempunyai peranan penting dalam membentuk pola berpikir dan pola pergaulan dalam kampus, yang berarti juga membentuk kepribadian dan pola pikir mahasiswa tertentu. Budaya mencakup perbuatan atau aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh suatu individu maupun masyarakat, pola berpikir mereka, kepercayaan, dan ideologi yang mereka anut.

Oleh: Rony Kurniawan
