oleh Rio Tri Handoko Kompetisi adalah hal yang lumrah. Sudah pasti hal demikian dilakukan oleh banyak orang. Tidak mungkin jika di...
oleh Rio Tri Handoko
Kompetisi adalah hal yang lumrah. Sudah pasti hal demikian dilakukan oleh banyak orang. Tidak mungkin jika didalam suatu kelompok, komunitas, daerah atau pun entitas tertentu tidak ada yang namanya kompetisi. Karena sudah menjadi sifat dasar manusia bahwa setiap individu atau golongan pasti memiliki naluri untuk eksis didalam kelompoknya. Tentu dengan membawa berbagai kepentingan masing-masing.
Bahwa sebuah kepentingan adalah hak paten bagi setiap orang. Semuanya berhak untuk melakukan ini dan itu demi menuntaskan kepentingannya. Tentu dengan norma dan tatanan yang telah disepakati. Tidak ada yang merugikan atau dirugikan. Semua hal adalah atas dasar berlomba-lomba dalam kebaikan. Sama-sama menebarkan benih-benih kebermanfaatan dan mewujudkan keharmonisan dalam kelompoknya. Demikianlah tujuan yang asli. Fitrahnya tidak ada kedengkian, iri, ataupun kebencian antar individu, golongan, atau kelompok. Semua bersih dan suci.
Akan tetapi, ditengah perlombaan individu atau kelompok tertentu yang mencoba untuk eksis dan menebarkan kebaikan. Seringkali terdapat sebuah noda hitam yang mewarnai fitrah aslinya. Terlalu obsesi dan ambisius untuk memenangkan perlombaan. Mencoba mengalahkan kompetitor-kompetitornya dengan cara apapun. Akhirnya ia lupa dengan tujuan aslinya. Orientasinya beralih dari menebarkan kebaikan menjadi mengalahkan dan menghancurkan kompetitor-kompetitornya. Ia sama sekali tidak ingat bahwa kompetitornya adalah teman seperjuangannya. Tidak ingat bahwa perlombaan-perlombaan itu sejatinya untuk memberi motivasi bukan untuk saling menjatuhkan.
Dan itulah yang sudah terjadi. Bahwa mata hatinya telah tertutupi. Semua ego dan nafsu telah mengubur dalam-dalam kepahamannya. Pada taraf implementasi segala kepahaman benar-benar sirna, dan ego telah memegang tahta tertinggi. Nurani tak lagi berarti. Pikiran tak bersikap logis dan implementasi menjadi tak rasional.
Melakukan pembicaraan kebanyak orang yang di sana dan di sini. Mengajaknya berdiskusi. Memulai diplomasi. Tidak salah memang, ketika orang melakukan pembicaraan kesana dan kemari. Kemudian melakukan marketisasi kelompoknya dan mengatakan bahwa kelompoknya adalah baik. Itu adalah hal yang wajar dan bias dibilang syarat wajib agar kebaikannya tersebar. Karena tanpa adanya marketisasi sudah pasti kebaikan itu akan sia-sia dan terkubur mati. Namun, tetap saja kebaikan itu tidak harus dipublikasikan pada masyarakat.
Melakukan pembicaraan kebanyak orang yang di sana dan di sini. Mengajaknya berdiskusi. Memulai diplomasi. Tidak salah memang, ketika orang melakukan pembicaraan kesana dan kemari. Kemudian melakukan marketisasi kelompoknya dan mengatakan bahwa kelompoknya adalah baik. Itu adalah hal yang wajar dan bias dibilang syarat wajib agar kebaikannya tersebar. Karena tanpa adanya marketisasi sudah pasti kebaikan itu akan sia-sia dan terkubur mati. Namun, tetap saja kebaikan itu tidak harus dipublikasikan pada masyarakat.
Tapi bagaimana jika diskusi itu berujung pada demarketisasi? Apakah itu tindakan yang baik? Apakah itu sportif? Bukankah sebuah perlombaan sejatinya untuk menunjukkan kemampuan terbaik? Bukan malah menutup-nutupi yang baik? Sangat patut disayangkan jika itu benar-benar terjadi.
Lebih lanjut pembicaraan itu di lakukan di belakang. Tidak mengatakan pada semua orang. Dan hanya memilah dan mimilih pada sosok “x”. Mendefinisikan bahwa sosok “x” pantas menjadi pendengar, tidak banyak bertanya, dan akan percaya saja pada yang dikatakan. Sekali lagi saya katakan.itu sah-sah saja, tidak salah dan tidak berdosa. Tapi jika yang dikatakan adalah kebenaran, kebaikan tentang dia, dan sesuai dengan realita yang ada. Bukan aib seseorang yang ada apalagi jika diada-adakan. Sungguh, itu adalah kedzaliman yang nyata.
Mengapa bisa demikian? Entahlah? Tapi ingin saya katakan, bahwa ini akan berlaku pada kaum abu-abu. Yang dianggapnya tahu tapi tidak tahu. Yang dianggapnya mengerti tapi tidak mengerti. Dan yang dianggapnya paham tapi sebenarnya tidak paham. Maka bersiaplah bagi saya, kamu, pembaca, dan semuanya jika merasa masih abu-abu. Untuk menjadi korban dari apa yang namanya demarketisasi, apa yang namanya doktrinasi, dan apa yang namanya konspirasi. Itu sudah pasti. Karena kaum abu-abu pasti tidak mengerti, tak punya prinsip pasti, dan kandidat kuat menjadi korban doktrinasi.
Lantas bagaimana sikap yang seharusnya kita ambil? Sebelum menjawab pertanyaan itu akan ada pertanyaan lain. Bagaimanakah dengan tulisan ini, apakah ini bagian dari doktrinasi? Terlepas dari definisi asli doktrinasi, maka secara pasti ingin saya katakan ”IYA!”. Doktrinasi bagi penulis sendiri dan bagi para orang yang masih menganggap dirinya abu-abu atau belum tahu pasti.
Isi dari doktrinasi :
1. Baca dan cari referensi
Konsepnya sudah jelas, bahwa baca dan mencari referensi sebanyak mungkin adalah tindakan yang tepat dan tercepat agar kita tahu. Tentu referensi tidak dari satu buku atau pihak saja, melainkan dari banyak pihak. Jika sudah begitu berarti kita sudah bijak.
2. Klarifikasi
Ini adalah sikap kedua ketika apa yang kita dapat masih terasa kurang jelas dan masih mengambang. Tanyakan pada pihak-pihak terkait, secara langsung. Jadikan putih atau hitam sekalian. Jangan cuma abu-abu.
3. Pegang prinsip
Jika dua itu sudah kita miliki. Maka yang dilakukan tinggal menentukan prinsip. Menentukan bukan ditentukan. Kita itu subjek bukan objek. Jika kita tak punya prinsip sendiri. Bersiaplah untuk menjadi seperti sampah yang terombang-ambing di lautan.
4. Biarkan nurani yang bicara
Sederhana saja. Karena nurani pasti tidak akan pernah bohong.
Itu sedikit dari tulisan ini, mudah-mudahan bisa bermanfaat, dan menjadi bahan renungan bersama.
Isi dari doktrinasi :
1. Baca dan cari referensi
Konsepnya sudah jelas, bahwa baca dan mencari referensi sebanyak mungkin adalah tindakan yang tepat dan tercepat agar kita tahu. Tentu referensi tidak dari satu buku atau pihak saja, melainkan dari banyak pihak. Jika sudah begitu berarti kita sudah bijak.
2. Klarifikasi
Ini adalah sikap kedua ketika apa yang kita dapat masih terasa kurang jelas dan masih mengambang. Tanyakan pada pihak-pihak terkait, secara langsung. Jadikan putih atau hitam sekalian. Jangan cuma abu-abu.
3. Pegang prinsip
Jika dua itu sudah kita miliki. Maka yang dilakukan tinggal menentukan prinsip. Menentukan bukan ditentukan. Kita itu subjek bukan objek. Jika kita tak punya prinsip sendiri. Bersiaplah untuk menjadi seperti sampah yang terombang-ambing di lautan.
4. Biarkan nurani yang bicara
Sederhana saja. Karena nurani pasti tidak akan pernah bohong.
Itu sedikit dari tulisan ini, mudah-mudahan bisa bermanfaat, dan menjadi bahan renungan bersama.
